Bengkulu - Sebagian besar gajah sumatera liar di Bengkulu selama ini berada di luar kawasan konservasi yang sangat rentan gangguan. Ironisnya, perlindungan terhadap kawanan gajah pun minim sehingga konflik manusia dengan gajah serta kasus kematian gajah kerap terjadi.
Data yang diperoleh Kompas, sampai Jumat (25/5) tak ada gajah yang dilaporkan mati pada tahun ini. Namun, selama tahun 2011, tujuh gajah dilaporkan mati karena diracun di sekitar areal Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu Utara.
Menurut Koordinator PLG Seblat Erni Suyanti Musabine, ancaman utama pada keberadaan gajah adalah habitatnya yang kian menyempit. Hutan habitat gajah sudah tumpang tindih dengan kepentingan manusia.
Suyanti mengatakan, selain di kawasan konservasi, sebagian habitat gajah justru di hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan area peruntukan lain yang rentan dialihfungsikan oleh pemerintah. Tak sedikit habitat gajah yang kini dirambah dan menjadi lahan hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit atau kebun masyarakat.
Sikap warga pun terbelah. Ada yang menilai konservasi gajah itu penting, tetapi sebagian lainnya menganggap gajah sebagai hama. Pemerintah daerah, kata Suyanti, tidak memberikan perhatian pada konservasi mamalia besar ini.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) pun menaikkan status gajah di Indonesia menjadi sangat rentan punah, sama dengan harimau sumatera. Hal ini harus menjadi peringatan tak hanya bagi pemerintah, tetapi juga berbagai pemangku kepentingan di bidang lingkungan. ”Penyelamatan gajah sumatera harus menjadi prioritas,” kata Suyanti.
Konflik gajah dengan manusia di Bengkulu cenderung meningkat pula. Puncaknya tahun lalu ketika tujuh ekor gajah mati.
Ketua Forum Konservasi Gajah (FKG) Sumatera Wahdi Azmi menambahkan, sesuai perkiraan tahun 2007, populasi gajah sumatera sekitar 2.400-2.800 ekor. Jumlah ini terus menyusut bila kerusakan hutan tak dicegah. Data FKG menunjukkan, dalam lima tahun terakhir 44 gajah mati dan 12 warga tewas dalam konflik antara gajah dan manusia.
Suyanti menegaskan, gajah sebagai mamalia besar memerlukan habitat yang luas. Penyelamatan gajah sama artinya dengan melindungi semua satwa dan tumbuhan di habitat itu. Dari Jambi dilaporkan, pengelolaan Bukit Tapanggang oleh Komunitas Adat Guguk di Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, berhasil melindungi keberadaan satwa liar endemik yang dilindungi. Hutan seluas 690 hektar itu menjadi habitat harimau sumatera, beruang madu, kucing batu, tapir, kijang muncak, dan kuaw raja.
Warsi dari Tim Konservasi Zoological Society of London dan Komunitas Konservasi Indonesia menjelaskan, masih mendapati harimau sumatera, sebagai satwa liar endemik dan binatang lain di Bukit Tapanggang. (ITA/ADH)
Sumber: Perlindungan Gajah Minim
0 comments :
Posting Komentar