GAJAH kecil berbelalai panjang itu bernama Bona. Ia berperilaku manis dan suka menolong. Gajah merah jambu itu, dalam versi dongeng anak-anak, dikisahkan berkawan dengan manusia. Lain halnya dengan kenyataan di rimba, si jumbo bukanlah hewan yang bersahabat.
Gajah di hutan Sumatera, misalnya, malah sering bentrok dengan warga. Sebuah lembaga yang bergerak di bidang konservasi gajah, Fauna dan Flora Internasional (FFI), mencatat, selama lima tahun terakhir, sebanyak 16 orang tewas akibat serangan gajah di Sumatera.
Dalam periode yang sama, tak kurang dari 45 gajah mati diracun dan ditembak warga dengan senjata rakitan. Bahkan, sebulan belakangan, terjadi dua kasus bentrokan gajah dengan penduduk Riau. Akibatnya, enam ekor gajah mati diracun di perkebunan kelapa sawit, bekas hutan Mahato di perbatasan Riau dan Sumatera Utara.
Insiden ini disusul mengamuknya puluhan gajah. Mereka menyerbu permukiman warga Desa Balai Raja, Kecamatan Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Perseteruan gajah dengan penduduk setempat semakin meruncing. Konflik gajah dan manusia itu, kata Manajer Program FFI Wahdi Azmi, dipicu oleh berkurangnya habitat gajah akibat konversi lahan.
"Banyak lahan hutan dataran rendah, yang merupakan habitat gajah, diubah menjadi perkebunan kelapa sawit," ujar Wahdi Azmi. Selain itu, pembalakan kayu dan perubahan lahan menjadi daerah permukiman juga berdampak makin menyempitnya habitat gajah.
Kawanan gajah itu, kata Wahdi, kemudian mencari tempat alternatif untuk memperoleh makanan. Mereka masuk ke kebun-kebun penduduk dan merusaknya. Celakanya, perilaku alamiah hewan yang terdesak itu dianggap oleh warga sebagai pengganggu dan perusak.
Karena itu, pemerintah mulai menjalankan program penangkapan gajah liar pada 1985. Gajah yang tertangkap lalu disekolahkan di Pusat Latihan Gajah (PLG) di Way Kambas, Lampung. Menangkap gajah dan menyekolahkannya ternyata bukan cara tepat untuk menangani mereka. PLG tak mampu menampungnya.
Jumlah gajah yang didaftarkan di sekolah itu bertambah banyak. Menurut catatan FFI, kini sekitar 500 gajah menjalani pendidikan di PLG. Celakanya, beberapa "murid" sekolah gajah itu mati karena kurangnya perawatan. "Ini malah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup gajah," tutur Wahdi.
Sekalipun sejak tahun 2000 pemerintah telah menghentikan penangkapan, perburuan liar masih tetap terjadi. Berdasarkan pemantauan FFI, di beberapa daerah seperti di Riau masih ada penangkapan gajah yang dibiayai pemerintah daerah setempat dan perusahaan perkebunan.
Penangkapan liar itu, menurut Wahdi, semakin mempertajam konflik manusia dengan gajah. Buktinya, sejak tahun 2000, jumlah warga yang meninggal diamuk gajah bertambah banyak. Sebelum tahun 2000, dalam kurun waktu lima tahun, hanya ada dua atau tiga orang yang dibunuh gajah liar. Sedangkan dalam lima tahun terakhir, tercatat ada 16 warga yang meninggal akibat serangan gajah.
Perilaku gajah yang semakin beringas itu, menurut penelitian FFI, dipicu oleh tindakan manusia memburu gajah liar. "Penangkapan itu merupakan bentuk training yang sangat intensif dan keras bagi gajah untuk mengenali bahwa manusia adalah musuh nyata mereka," ujar Wahdi.
Dalam proses penangkapan, kata Wahdi pula, kawanan gajah dikejar-kejar, diteriaki, ditembak dengan obat bius, dan mendapat perlakuan kasar. Akibatnya, sisa populasi gajah yang selamat mulai belajar dan mengenali manusia sebagai musuh.
"Dalam penelitian kami ditemukan, hampir semua kasus penyerangan gajah terhadap warga itu berlangsung beberapa hari setelah masyarakat menangkap dan membunuh gajah," tutur Wahdi. Belajar dari kasus itu, kemudian FFI mengembangkan metode conservation response unit (CRU) untuk menangani konflik warga dengan gajah.
Metode ini mulai diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, kawasan perbatasan Aceh-Sumatera Utara, pada 2002. Dua CRU ditempat di wilayah Sumatera Utara, satu di Aceh, dan satu lagi di Bengkulu. Setiap tim CRU juga menggunakan enam hingga tujuh gajah terlatih untuk melakukan patroli rutin mengecek kondisi habitat gajah.
Dalam melakukan tugas, CRU menerapkan metode berbeda atas setiap kasus. "Kita harus melihat semua aspek yang berperan dalam konflik itu," kata Wahdi. Misalnya, jika terjadi konflik di kawasan yang sudah tidak berhutan lagi dan dihuni sekelompok gajah berjenis kelamin sama, CRU tidak akan menggunakan metode pengisolasian dengan parit atau pagar listrik.
Pada kondisi ini, bagi CRU, yang dibutuhkan adalah menghubungkan kembali kelompok itu dengan habitat yang lain. Dengan demikian, kelompok gajah dengan single sex tersebut bisa melanjutkan regenerasi ketika bertemu dengan kawanan lain yang berjenis kelamin berbeda.
Metode lain akan diterapkan CRU jika konflik terjadi di daerah yang berbatasan dengan kawasan taman nasional. Kawasan ini, ujar Wahdi, biasanya masih memiliki luasan hutan yang cukup dan masih bagus struktur populasinya. Jika terjadi konflik, karena gajah sudah tinggal di habitat yang benar dengan populasi yang layak, maka gajah yang masuk kampung hanya akan diusir kembali ke tempat asalnya.
Selain mengurusi gajah, CRU juga mencoba pola sinergi dengan masyarakat sekitar wilayah habitat gajah. Pihak FFI lewat CRU-nya mengampanyekan pentingnya menjaga habitat gajah. Salah satu proyek percontohan yang sukses adalah yang dilakukan di wilayah Tangkahan, Sumatera Utara.
Warga Tangkahan, yang tadinya perambah hutan, sejak tahun 2000 telah menghentikan aktivitasnya. Sebagai gantinya, mereka mengembangkan daerah ekowisata. Mereka juga mendapat jatah lahan 2 hektare untuk berkebun karet.
Musim konflik biasanya terjadi ketika gajah bermigrasi melewati pinggiran taman nasional yang berbatasan dengan penduduk. "Pada masa itulah masyarakat kami minta tidak menanam komoditas yang dimakan gajah," kata Wahdi. Dengan metode CRU, katanya, warga Tangkahan kini bisa berkawan dengan komunitas gajah.
Sejauh ini, konsep CRU dinilai dapat menekan intensitas konflik warga dengan gajah. "Sejak 2002 jarang terjadi konflik manusia dengan gajah," ujar Kepala Taman Nasional Gunung Leuser, Wiratno.
Toh, upaya warga mencoba rukun dengan gajah belum sepenuhnya berhasil. Akhir tahun silam, sekawanan gajah kembali mengamuk dan merusak perkebunan penduduk Kutacane, kawasan Gunung Leuser. Peristiwa ini berlangsung di lokasi bangkai gajah yang mati beberapa hari sebelumnya.
M. Agung Riyadi
[Lingkungan, Gatra Edisi 26 Beredar Senin, 8 Mei 2006]
Sumber : http://www.gatra.com/2006-05-14/artikel.php?id=94426
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar