Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menilai keberadaan SLVK penting dalam rangka membuat ekonomi tumbuh bersamaan dengan kelestarian alam. Ironisnya, industri kayu belakangan menurun sementara stok hutan alam tropis Indonesia (Kalimantan dan Sumatera) semakin tipis karena adanya illegal logging atau log laundrying.
Pemberantasan illegal logging masih sulit dilakukan terutama di daerah perbatasan seperti Serawak dan Papua. Padahal LSVK hadir untuk membatasi perilakuillegal logging dan meningkatkan daya saing industri kayu Indonesia dalam perdagangan dunia.
“Tingginya permintaan kayu murah menyebabkan adanyaillegal logging. Kalau log laundryng itu kan nggak perlu bayar pajak, nggak merawat hutan, jadi biayanya murah. Untu
k itu dengan SLVK, negara konsumen diharapkan tidak menerima kayu-kayu ilegal, “ujar Zullkifli Hasan di Jakarta.
Saat ini Indonesia dan Uni eropa melalui Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT-VPA), telah mensosialisasikan SLVK ke negara Jepang, China dan Korea. Berikutnya akan ke Australia, Amerika, dan seluruh negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia. “Jadi LSVK ini sekaligus menjawab trend perdagangan dunia dengan sistem legalitas, kalau Amerika punya Lacey Act, Jepang Doho Wood, Australia ILPA, kita ada SLVK,” ujar Zulkifli lagi.
Industri Belum Siap
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengakui belum semua kalangan industri siap dengan kewajiban SLVK terutama kelompok usaha furnitur yang kebanyakan merupakan pengusaha kecil menengah (UKM). Untuk itu pihaknya telah melayangkan permohonan penangguhan selama dua tahun kepada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kehutanan.
“Tidak masalah ditunda kalau memang industri belum siap. Dari sisi pembiayaan sertifikasi ada kendala terutama pengusaha skala kecil menengah. Kalau kita melihat data Kemdag, itu kan ada 5.000 eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK). Sekitar 2.000 unit bergerak di bidang furnitur dan mebel. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 600 unit saja yang sudah memiliki SVLK. Jadi memang lumayan besar biayanya,”ujarnya.
Sementara Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono menilai penundaan tersebut merupakan bentuk inkonsistensi regulasi yang telah dibuat pemerintah sendiri. “Kalau ditunda-tunda nanti kita tidak dipercaya. SVLK ini butuh komitmen. Kalau untuk usaha-usaha kecil kan cuma 25 juta yah. Yang usaha besar memang sekitar 300-400 juta tapi kan untuk masa bakti 5 tahun. Dan untuk yang nggak mampu ini kan akan dikerjasamakan dengan si pendamping yang menggunakan bahan baku dari dia. Jadi si industrinya menjadi pendamping si usaha hutan tanaman rakyatnya. Itu kita punya aturan pendampingan. Jadi jangan jadi alasanlah, kan bisa patungan. Kita ingin kayunya ini legal bukan menghambat mereka ekspor, ” tutur Bambang. Yosi
0 comments :
Posting Komentar