Dokter hewan yang bertugas mengobati binatang peliharaan memang sudah sewajarnya. Akan tetapi, menjadi dokter hewan khusus untuk satwa liar yang kapan pun harus siap masuk ke rimba belantara demi menyelamatkan seekor binatang buas, tak semua orang mau dan mampu melakukannya.
Namun, menyelamatkan dan mengobati satwa liar itulah yang selama ini justru dilakukan Erni Suyanti Musabine. Lewat sentuhan tangan Yanti, panggilannya, banyak nyawa satwa liar terselamatkan. Satwa liar yang terluka ataupun sakit dirawatnya hingga bisa kembali ke alam bebas.
Yanti adalah dokter hewan yang bertugas di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu. Selama ini, lajang berusia 37 tahun itu hampir selalu berada di balik upaya penyelamatan satwa liar di Sumatera bagian selatan, terutama Bengkulu.
Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak harimau, gajah, orangutan, dan beruang yang diselamatkannya selama kurun waktu delapan tahun terakhir.
Tugas itulah yang membuat Yanti harus berada di hutan. Dia bahkan bisa selama berbulan-bulan hidup di hutan. Pekerjaan itu telah membuatnya tak merasa harus risau meski dirinyalah satu-satunya perempuan di antara para pria di hutan itu. Yanti pun tidak ragu untuk ikut berpatroli gajah, masuk ke hutan selama berhari-hari.
Selain harus menaklukkan rimba belantara saat hendak menyelamatkan nyawa satwa liar, Yanti juga harus menghadapi keterbatasan fasilitas medis yang ada. Hambatan itu masih belum cukup. Dia juga harus menghadapi risiko lain, yakni keselamatan dirinya terancam ketika harus berhadapan dengan satwa liar di hutan.
Beban tanggung jawab yang dipikul Yanti bisa dibilang berat. Sebab, dalam setiap upaya penyelamatan satwa liar, tidak hanya nyawa hewan itu sendiri yang harus dia selamatkan, tetapi dia pun bertanggung jawab atas nyawa para petugas penyelamatan yang berada di bawah kendalinya.
Beratnya tugas itulah yang menyebabkan hanya segelintir mahasiswa kedokteran hewan teman kuliah Yanti yang kemudian bersedia menjadi dokter hewan khusus satwa liar.
Pengalaman menarik
Namun, bagi Yanti, berupaya menyelamatkan nyawa satwa liar merupakan tantangan. Ada saja pengalaman menarik saat dia berusaha menyelamatkan nyawa satwa liar di tengah hutan.
Yanti bercerita, suatu ketika di Ketahun, Bengkulu Utara, dalam waktu relatif singkat, dia harus menyuntikkan obat bius ke tubuh harimau yang lepas dari jerat pemburu, tanpa alat bantu apa pun.
”Saat itu, sebagian petugas justru panik karena harimau yang terjerat itu hampir bisa melepaskan diri. Di bawah guyuran hujan, saya terpaksa mengendap-endap dari belakang harimau itu supaya bisa secepat mungkin menyuntikkan obat bius langsung ke tubuhnya sebelum dia (harimau) berbalik badan,” tutur Yanti.
Ada pula peristiwa yang menegangkan sekaligus menggelikan. Ketika itu, Yanti tengah berusaha menyelamatkan nyawa seekor gajah liar yang terperosok ke dalam lubang bekas galian batubara. Setelah petugas berhasil mengeluarkan gajah tersebut dari lubang galian, si gajah justru berusaha menyerang dan mengejar tim penyelamatnya, termasuk Yanti.
Namun, di antara sekian banyak upaya penyelamatan nyawa satwa liar, kisah penyelamatan Dara, seekor harimau sumatera di Bengkulu, dan seekor orangutan di Jambi-lah yang menyisakan kesan mendalam bagi Yanti.
Ia bercerita, saat penyelamatan Dara, dia harus melalui medan yang berat. Ia berkendara selama sehari penuh, dilanjutkan berjalan kaki di hutan selama dua hari. Itulah waktu yang dibutuhkan Yanti untuk mencapai lokasi terjeratnya Dara di hutan produksi Air Rami, Bengkulu Utara.
Sementara di Jambi, dia harus berupaya mengambil dan mengobati orangutan yang tertembak dan ditahan masyarakat desa di sekitar hutan. ”Di sini, yang harus kami hadapi bukan hanya hewannya, melainkan juga warga setempat,” ujarnya.
Hubungan emosional
Bagi Yanti, satwa liar bukan sekadar hewan di hutan. Hubungan emosional antara dia dan satwa liar seakan bersaudara. Jika ada satwa liar yang terluka, bahkan mati terkena jerat pemburu, Yanti merasa amat bersedih.
”Satwa liar itu sudah menjadi bagian dari hidup saya. Satwa liar pada hakikatnya amat bergantung pada manusia,” katanya.
Lahir dari keluarga pencinta hewan dan konservasi alam, Yanti yang hobi panjat tebing itu tak asing dengan konservasi satwa liar. Ketika masih di bangku kuliah, ia aktif dalam kelompok pencinta alam Wanala Unair (Universitas Airlangga) dan Profauna. Inklinasi Yanti pada konservasi satwa liar pun terus berlanjut.
Menjadi dokter hewan diakuinya bukan pilihan pertama saat memilih bangku kuliah. Semula, anak ketiga dari empat bersaudara itu berharap kuliah pada jurusan arsitektur. Oleh karena itulah, pada awal masa kuliah, Yanti tak punya bayangan hendak bekerja di mana selepas kuliah.
Namun, setelah mendapat mata kuliah yang berkaitan dengan konservasi satwa liar, Yanti mulai menikmati bidang kedokteran hewan. Bahkan, perempuan yang pernah menjuarai lomba dayung perahu naga di Jawa Timur itu ingin memperdalam ilmu bidang kedokteran hewan khusus satwa liar.
Yanti juga berharap suatu hari nanti ada klinik pengobatan satwa liar yang memadai di Bengkulu, mengingat tingginya kasus kematian satwa liar akibat perburuan dan konflik tata ruang.
”Ada banyak tumpang tindih kepentingan di kawasan hutan. Izin pertambangan dan perkebunan di sekitar, bahkan di dalam kawasan hutan, menjadi ancaman serius bagi satwa liar,” katanya prihatin.
Di tengah karut-marut manajemen pengelolaan kehutanan negeri ini, sekuat tenaga Yanti berusaha konsisten melakukan tugas menyelamatkan nyawa satwa liar di habitatnya. Jejaring pada tingkat nasional dan internasional pun ia bangun untuk menghimpun dukungan upaya konservasi satwa liar.(Adhitya Ramadhan)
0 comments :
Posting Komentar