Yayasan Ulayat Bengkulu

Menteri LH Usut Kasus Pencemaran Air Bengkulu

Masalah pencemaran daerah aliran sungai (DAS) Air Sungai Bengkulu sudah menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat. Bila tidak ada halangan, Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, Ms bersama tim kementerian LH akan ambil sampel air DAS Air Bengkulu untuk ambil sampel air.

Informasinya, pengambilan dilakukan di kawasan tambang dan pengelolaan karet dan minyak sawit, “ ujar Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Si yang diiyakan Direktur Perencanaan dan EvaluasiPengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Kementrian Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Dr. Ir. Eka W Soegiri, MM dan perwakilan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) Ir. Tonny H Widianarto, M. Si ditemui usai kegiatan Sosialisasi Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Bengkulu tahun  2011 di Raffles City Hotel, Rabu (27/7).

Gubernur Harus Bertindak
Eka juga menilai persoalan dasar yang tak kunjung selesainya persoalan pencemaran Air Bengkulu karena tidak terbangunya harmonisasi dan komunikasi antar pihak terkait. Akibat masing-masing pihak bekerja sendiri tanpa kesatuan arah yang jelas, sehingga membuat kebingunggan ketika akan mengambil sebuiah tindakan dan keputusan yang menyangkut persoalan antar wilayah. “Ibarat lagu, biar terbangun harmonisasi harus ada dirigennya. Dalam hal ini pencemaran yang melingkupi dua wilayah, Gubernur atau Pemprov harus bertindak sebagai dirigennya. Kalau tidak, tidak akan pernah terselesaikan persoalan tersebut, masing-masingpihak akan saling lempar tanggung jawab terus, “ tutur Eka.

Dengan begitu, sambung Eka, apa yang menjadi polemic persoalan pemerintah dalam merespon persoalan pencemaran dapat segera teridentifikasi dan terlokalisasi (terpetakan) sejauh mana besaran, dampak ikutan dan strategi penyelesaiannya. “Kepentingan DAS dan air ini kan bukan cuma milik segelintir oaring. Mulai dari nasional, sector, kabupaten, kota, provinsi, rumah tangga industry dan lain sebagainya punya kepentingan. Identifikasi dan lokalisir masalahnya, pasti terjawab nanti, “ ujar Eka.

Dengan begitu, tambah Eka, kedepannya akan terwujud kerangka piker tentang  Visi, Interprestasi dan Persepsi (VIP) yang sama bahwa persoalan pencemaran sampai dengan semua permasalahan  di DAS Air Bengkulu adalah tanggungjawab dan kepemilikan bersama semua pihak. “Tinggal lagi berbagi peran masing-masing di semua lembaga, tujuan boleh saja beda yang penting tetap mengarah pada perbaikan kualitas DAS Air Bengkulu atau lingkungan, “kata Eka.

Wajib Ada Kompensasi Hulu Hilir
Menanggapi kemungkinan ruang bagi pihak Kabupaten/Kota untuk dapat menerima ganti rugi bila wilayah mereka menjadi korban pencemaran aktivitas industry di daerah hulu, “Warga atau masyarakat atau pun Pemkab/Pemkot berhak untuk meminta ganti rugi, jika mereka merasa dirugikan. Artinya kopemsasi hulu hilir itu wajib dan sudah menjadi hak bagi masyarakat, “ujar Eka.

Kopensasi tersebut, tambah Eka, termaktub dalam kaidah polluter pay principle (perencemar harus membayar) yang sudah diterapkan diberbagai negara. Hanya saja, sayangnya di Indonesia kaidah tersebut belum menjadi titik tolak kebijakan untuk mengatasi persolan pencemaran. Padahal dengan menggunakan kaidah tersebut dapat menjadi instrument yang efisien dan efektif sebagai biaya pencegahan, pengendalian, dan penaggulangan pencemaran dan /atau perusakan lingkungan hidup.

Eka menambahkan, prinsip pencemar membayar didasari atas prinsip bahwa setiap pelaku pencemaran harus tetap dapat di tuntut tanggunggugatnya (to be held accountable) tanpa mempertimbangkan apakah pihak pencemar telah  mematuhi peraturan atau  pun mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Karena, sambung Eka, tindak pencemaran tersebut, berdasarkan UU No. 32 tahun 2009, merupakan suatu tindak kejahatan lingkungan, maka hal ini juga mengandung makna adanya tanggung-gugat dari penganggung jawab kegiatan (top management) untuk dapat dituntut secara pidana atas tindakan pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut.

“Artinya secra sederhana, tambang yang ada di hulu DAS Air Bengkulu, karena sudah mencemari berarti harus bayar (ganti rugi) kepada warga kota atau kabupaten. Angkanya silahkan saja, dianalisis berdasrkan luasan dampak yang ditimbulkannya.”ujar Eka.

Namun demikian, tamabh Eka, penerapn kaidah polluter pay principle tersebut, sepantasnya juga harus setepatnya. Sebab jika di telaan lebih jauh, maka para pengumpul batu bara yang sudah menyumbang kekeruhan di Instalasi Pengelolaan Air Minum (IPAM) di kelurahan Surabaya bisa terkena beban tersebut.  “Jadi, sebaiknya lah. Nanti protes pula para pengumpul batu baranya, mereka kan juga termasuk salah satu bagian dari pencemarnya, soalnya,” ujar Eka. (jek) Radar Bengkulu/Kamis, 28 Juli 2011 


Published Ulayat Bengkulu
Share on Google Plus

About Ulayat Blog

Ulayat Adalah Organisasi Non Pemerintah yang didirikan pada tanggal 26 januari 2000 di Bengkulu. Aktivitas utama Ulayat meliputi pelayanan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, melakukan pemantauan kasus-kasus kehutanan dan perkebunan, melakukan inventarisasi model-model pengelolaan sumberdaya alam berbasis rakyat dan advokasi kebijakan lingkungan di Indonesia.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Posting Komentar